Pajak, Ekonomi Digital dan Sharing Economy di Indonesia

Ekonomi digital, istilah yang lebih umum dipakai daripada e-commerce, memberikan platform ekonomi berbagi  (sharing economy) dengan menyediakan peluang penghasilan dengan mempertemukan pemilik barang dan penyedia jasa kepada konsumen mulai dari  jasa angkutan seperti ojek, taksi, sewa rumah, penyewaan kendaraan, jasa pertukangan,  streaming music, perdagangan lewat online market place, hingga financial technology (fintech) yang mempertemukan pemilik dana dan peminjam dengan peer-to-peer lending.

Perpajakan atas ekonomi digital sudah diatur oleh pemerintah lewat PMK No. 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) namun bagaimana penerapan peraturan pajak tersebut bagi pelaku ekonomi digital dan sharing economy dalam hal  PPh, PPN hingga pajak daerah?

Baca juga : Google Tax di Indonesia, mungkinkah?

Sharing Economy dan Platform Digital

Platform sharing economy umumnya disediakan oleh perusahaan digital dengan menyediakan layanan kepada konsumen untuk berinteraksi dengan penyedia barang dan jasa melalui web atau aplikasi telepon pintar.

Hal ini menciptakan resiko pajak karena sifat pembayaran, yang seringkali berbasis global, sehingga dapat memberi tantangan dalam kepatuhan pelaporan pajak khususnya atas platform dari negara lain sehingga beberapa otoritas perpajakan berusaha menggunakan badan pemerintah lainnya atau otoritas pajak negara lain untuk melakukan pertukaran informasi atas transaksi dengan individu atau entitas dari negara lain sebagaimana dilaporkan oleh OECD dalam, Comparative Information on OECD and Other Advances and Emerging Economies (2017). Laporan tersebut menjelaskan pengalaman Australia yang menggunakan data pengguna platform  digital hingga Finlandia yang menggunakan data pembayaran kartu kredit/debit online untuk menguji kepatuhan PPh dan PPN dalam sharing economy.

PMK 210 sebenarnya mengatur apa yang sudah dilakukan oleh otoritas pajak negara lain dengan penggunaan informasi pelaku ekonomi digital.

Perlakuan Pajak atas Penghasilan

Permasalahan pelaporan pajak pelaku sharing economy  umumnya adalah penghasilan yang ada bukan merupakan penghasilan dari pekerjaan (employment income)  karena pelaku sharing economy merupakan mitra usaha.  Perlakuan pajak  dapat berbeda tergantung jenis penghasilan yang diterima, apakah sebagai penghasilan usaha atau penghasilan jenis lainnya seperti sewa, pekerjaan bebas, bunga hingga hasil investasi. Penggolongan jenis penghasilan adalah hal penting karena perlakuan pajak akan tergantung jenis penghasilan.

Permasalahan timbul karena tidak adanya kewajiban bagi penyedia platform digital yang memberikan penghasilan kepada para mitra mereka, untuk memotong PPh Pasal 21 karena penghasilan yang mitra terima bukanlah penghasilan sebagai karyawan ataupun sebagai penghasilan jasa.

Pendapatan terbesar sharing economy banyak berasal dari platform digital asing dimana perusahaan digital asing, pada umumnya digolongkan sebagai representative office dan bukan digolongkan sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap). PMK 210 hanya mengatur secara tegas kewajiban penyedia platform asing yang  berupa BUT dan tidak menjelaskan tentang  kewajiban platform digital asing yang berbentuk representative office.

Khusus fintech yang mempertemukan pemilik uang dan penerima pinjaman, ada penghasilan atas imbalan misalnya berupa bunga atau imbal hasil kepada pemilik dana atau modal yang dapat menimbulkan pertanyaan tentang kewajiban memungut pajak atas bunga atau imbal hasil yang diberikan lewat platform digital.

Baca juga : Aturan Pajak E-Commerce Dalam Negeri Indonesia

Potensi Penerimaan Pajak

Ada potensi besar penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia dari kegiatan sharing economy, terlihat dari ribuan mitra pengemudi ojek dan taksi online, ribuan penjual di toko online lewat platform marketplace sehingga ada kewajiban PPh orang pribadi yang dapat digali.

Potensi penerimaan pajak yang besar dari kegiatan ekonomi berbagi adalah PPh yang dapat dikenakan PPh UMKM jika penghasilan pelaku usaha ekonomi berbagi sebagai orang pribadi dapat digolongkan sebagai penghasilan usaha dan bukan penghasilan dari pekerjaan bebas tenaga ahli seperti akuntan atau konsultan, dan dapat dikenakan PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan usaha berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018.  Dapat menjadi pertanyaan apakah pengemudi ojek atau taksi online dapat dikenakan PPh final sebesar 0,5% meskipun PP 23 juga membatasi adanya penerapan PPh final tersebut untuk orang pribadi selama maksimal 7 tahun.

PP 23  mengatur adanya pemotong pajak untuk PPh final 0,5% atas kegiatan usaha , yang sebenarnya dapat diterapkan kepada penyedia platform digital, namun belum ada ketentuan lanjutannya yang tentunya harus melihat model usaha dari sharing economy dan jenis penghasilan mitra usaha sehingga tidak semua peserta ekonomi berbagi dapat menggunakannya, contohnya atas bunga dari platform fintech atau penawaran jasa tenaga ahli orang pribadi lewat platform digital.

Untuk platform digital asing, potensi penerimaan PPN juga ada, karena berdasarkan UU PPN, penerima jasa dari luar negeri  termasuk orang pribadi yang bukan Pengusaha Kena Pajak, atas jasa dari platform digital asing,  diwajibkan menyetorkan sendiri PPN terutang atas jasa tersebut.

Sharing economy juga dapat memberi potensi penerimaan pajak daerah, apabila properti yang disewakan dapat digolongkan sebagai jasa penginapan dan dikenakan pajak hotel.

Baca juga : Masalah Pajak E-Commerce Asing di Indonesia

Kesimpulan

Ada potensi penerimaan pajak yang besar di Indonesia dari pelaku sharing economy dengan platform digital meski dengan pendekatan berbeda karena penghasilan  bukan lagi sebagai karyawan dan harus ditentukan jenis penghasilan untuk menentukan perlakuan pajaknya baik sebagai penghasilan kegiatan usaha, pekerjaan bebas atau penghasilan lainnya sehingga dapat menjadi potensi penerimaan PPh, PPN hingga pajak daerah.

Jika PMK 210 akan diterapkan tentunya permasalahan level of playing field bagi platform digital asing , khususnya yang hanya berupa representative office, perlu diatur lebih lanjut dalam hal pengumpulan informasi pajak seperti NPWP dan  penghasilan.

Penulis: Andreas Adoe

Catatan : Tulisan ini telah dimuat dalam Harian Kontan, 15 Februari 2019

Referensi :

  • OECD Repot : Tax Administration 2017: Comparative Information on OECD and other Advanced and Emerging Economies
  • PP No. 23 Tahun tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
  • PMK No. 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce)


Author: Taxnesia Team
Taxnesia Team is part of contributor team for the Taxnesia Website

Leave a Reply

Layanan Perpajakan
Close
error:
This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.