Pajak Pertambahan Nilai dan Kewajiban Penggunaan Rupiah

Apa permasalahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena adanya kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi dalam negeri sesuai  Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang?

Untuk penjualan dan pembelian dalam negeri, maka transaksi  harus menggunakan mata uang Rupiah sehingga pelaporan PPN juga harus menggunakan dasar pengenaan pajak dalam Rupiah.

Dalam prakteknya, pembeli dan penjual di Indonesia dapat saja membuat perjanjian penjualan atau pembelian yang memungkinkan  perubahan harga bila terjadi perubahan nilai tukar dengan menggunakan proforma invoice, yang dapat dikatakan sebagai komitmen penjualan atau faktur sementara  sehingga faktur komersial akan diterbitkan di kemudian hari.[1]

Proforma invoice juga terkadang dilakukan untuk menghindari pembayaran PPN yang harus dilakukan sedangkan pembayaran dari konsumen baru akan dibayar dalam jangka waktu lama setelahnya.  Penggunaan proforma invoice dapat menjadi masalah bila ada perbedaan antara informasi antara proforma invoice seperti jumlah pembayaran hingga tanggal transaksi dengan informasi yang ada di faktur pajak.

Untuk pelaporan faktur pajak,  penggunaan faktur pajak elektronik (e-faktur) akan lebih memudahkan pengawasan oleh DJP untuk menemukan ketidaksesuaian informasi  faktur pajak dengan keadaan yang sebenarnya.  Dalam pelaporan faktur pajak elektronik, mata uang yang bisa digunakan hanya Rupiah dan untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang menggunakan mata uang selain Rupiah maka harus terlebih dahulu dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-faktur.[2]

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk kepentingan perhitungan PPN, penggunaan mata uang asing dimungkinkan asalkan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.[3] Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut juga dijelaskan bahwa dalam transaksi atas:

  • Impor Barang Kena Pajak;
  • Penyerahan Barang Kena Pajak;
  • Penyerahan Jasa Kena Pajak;
  • Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
  • Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,

yang dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing maka penghitungan besarnya PPN atau  PPn BM, harus dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

Berdasarkan aturan diatas, dapat dilihat bahwa meskipun Faktur Pajak elektronik hanya mengatur pelaporan PPN dalam Rupiah namun peraturan pajak untuk PPN belum mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi di dalam negeri.

peraturan pajak untuk PPN belum mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi di dalam negeri.

Kesimpulan

Kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 dapat membuat Wajib Pajak bertransaksi hanya menggunakan mata uang Rupiah yang akan mempunyai pengaruh dalam pelaporan PPN sehingga Wajib Pajak perlu melakukan perencanaan pajak atas pelaporan PPN. Tax planning yang dilakukan perlu dilakukan karena ada beberapa hal yang belum jelas diatur, contohnya atas penggunaan proforma invoice.

DJP mungkin perlu merubah peraturan PPN, untuk turut mendukung penerapan kewajiban penggunaan mata uang Rupiah untuk transaksi di dalam negeri.

Catatan :

Lihat juga tulisan sebelumnya tentang Proforma Invoice dan Tax Planning

Referensi :

[1]Proforma invoice dapat didefinisikan sebagai faktur berisi ringkasan atau perkiraan yang dikirim oleh penjual kepada pembeli sebelum pengiriman barang. Faktur jenis ini mencatat jenis dan jumlah barang, nilai ,dan informasi penting lainnya seperti berat dan biaya transportasi. Proforma invoice biasanya digunakan sebagai faktur awal dan berbeda dari faktur normal (Sumber :  BusinessDictionary.com). Proforma invoice dapat juga didefinisikan sebagai dokumen yang menyatakan komitmen penjual untuk menyediakan barang atau jasa tertentu kepada pembeli dengan harga tertentu dan tidak dicatat sebagai piutang oleh penjual dan juga tidak dicatat sebagai hutang oleh pembeli (Sumber : Debitoor Accounting Glossary, debitoor.com).

[2] Pasal 5 dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Elektronik.

[3] Lihat Pasal 14 dari PP No. 1 Tahun 2012.



Author: Andreas Adoe
The author is tax professional, tax advisor and tax lecturer. Founder and Editor of taxnesia.com who writes passionately about domestic tax issues, international tax issues as well as legal disputes in taxation. He is happy to help anyone with his tax expertise for domestic and international tax problems.

Leave a Reply

Layanan Perpajakan
Close
error:
This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.