Sengketa Biaya Hidup dan Harta dalam PPh OP

Dapatkah biaya hidup dan harta yang dimiliki Wajib Pajak Orang Pibadi menjadi dasar penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi secara jabatan?

Tulisan ini terkait dengan sengketa pajak yang diajukan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak (WP) (sebut saja A) sehubungan dengan penggunaan biaya hidup dan harta WP oleh pemeriksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam penentuan pajak terutang yang masih harus dibayar WP .

Pendapat DJP atas analisis biaya hidup

Atas dasar Pasal 4 (1) huruf p Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) , DJP melakukan analisis biaya hidup dan analisis harta yang dimiliki WP berdasarkan data Pajak Bumi dan Bangunan, mobil mewah, dan IMB.

Dalam  Pasal 4 (1) huruf p UU PPh, disebutkan bahwa yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu

“…setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.”

Berdasarkan analisis biaya hidup, analisis harta, dan informasi tersebut, DJP secara jabatan menganggap bahwa WP mempunyai kemampuan ekonomis untuk :

  1. membeli tanah dan bangunan di Patra Kuningan,
  2. merenovasi rumah tersebut dengan biaya  Rp.3.000.000/m2,
  3. membeli tanah di Bogor dan,
  4. membeli kendaraan rangerover

DJP menganggap WP memiliki tambahan kemampuan ekonomis suntuk menambah kekayaannya yang merupakan penghasiIan bersih yang belum dilaporkan atau obyek pajak yang belum dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Pendapat WP atas analisis biaya hidup

Jumlah pajak yang masih harus dibayar menurut DJP merupakan perhitungan dari Penghasilan Netto dalam negeri, yaitu penghasilan yang belum dilaporkan berdasarkan analisis biaya hidup, analisis harta yang dimiliki WP untuk menentukan total kemampuan ekonomis.

WP mengakui ketika dilakukan pemeriksaan kurang memberikan argumentasi dan dokumen/bukti pendukung sehingga menimbulkan koreksi fiskal sebagaimana yang dilakukan DJP, namun WP menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena pada saat pemeriksaan dilakukan WP sudah tidak tinggal di alamat sesuai data yang ada pada DJP sehingga WP baru menerima surat-surat terkait pemeriksaan pajak setelah pemeriksaan pajak selesai.

Penghasilan neto dalam negeri yang merupakan hasil temuan DJP berdasarkan analisis biaya hidup dan analisis harta yang dimiliki WP dalam tahun pajak yang diperiksa, menurut WP termasuk di dalamnya adalah :

  • pinjaman KPR dari Bank BNI dan
  • warisan orang tua WP yang telah meninggal dunia yang bukan merupakan obyek Pajak.

WP juga menyatakan :

  • renovasi rumah yang dibeli bukan merupakan renovasi total melainkan hanya penambahan ruangan
  • tidak pernah melakukan pembelian tanah di Bogor dan kendaraan rangerover sebagaimana dimaksud oleh DJP.

Oleh karena itu koreksi penghasilan netto dalam negeri yang belum dilaporkan menurut DJP harus dikurangkan dengan Perjanjian Kredit dan warisan orang tua WP yang telah meninggal dunia.

DJP menganggap WP memiliki tambahan kemampuan ekonomis suntuk menambah kekayaannya yang merupakan penghasiIan bersih yang belum dilaporkan atau obyek pajak yang belum dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Permasalahan

Dapatkah biaya hidup dan harta yang dimiliki Wajib Pajak menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan secara jabatan?

Dapatkah informasi yang diperoleh dari data Pajak Bumi dan Bangunan, mobil mewah, dan IMB digunakan untuk menentukan tambahan kemampuan ekonomis?

Hasil Putusan Pengadilan

Dalam sengketa diatas, majelis hakim memutuskan:

  • Dalam putusan perkara banding atas keputusan keberatan di Pengadilan Pajak, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menolak permohonan banding WP dan menyetujui koreksi pemeriksa pajak yang menyatakan bahwa tambahan kekayaan yang belum dilaporkan dapat menjadi dasar penghitungan PPh OP secara jabatan.
  • Atas putusan banding, WP mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Dalam sengketa ini MA menolak permohonan Peninjauan Kembali  WP karena alasan WP mengajukan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, sebab Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan permohonan banding Pemohon tidak dapat diterima sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Dasar pertimbangan majelis hakim adalah karena pasal 4 UU PPh menyebutkan bahwa yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
  • Dalam hal ini WP dinyatakan memiliki tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh untuk menambah kekayaannya. Atas tambahan  kemampuan ekonomis tersebut dilakukan penghitungan pajak terutang secara jabatan dengan menggunakan analisis biaya hidup dan harta berdasarkan data yang dimiliki DJP.
  • Dalam hal terdapat perubahan alamat domisili, WP seharusnya menyampaikan pemberitahuan adanya perubahan alamat saat melakukan pindah domisili sehingga tidak terjadi misskomunikasi di antara pihak WP dan DJP.

Catatan Penulis:

Dalam Pedoman Penggunaan Metode Dan Teknik Pemeriksaan (SE-65/PJ/2013) dikenal adanya metode pemeriksaan langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung merupakan teknik pemeriksaan dan prosedur pemeriksaan untuk menguji kebenaran pos-pos diperiksa yang dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan dokumen terkait dengan pos-pos yang diperiksa. Sementara metode tidak langsung, yang digunakan dalam hal metode langsung tidak dapat diterapkan, merupakan teknik pemeriksaan dan prosedur pemeriksaan untuk menguji kebenaran pos-pos diperiksa yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan penghitungan tertentu.

Metode Tidak Langsung yang digunakan oleh Pemeriksa Pajak terdiri atas pendekatan :

1) Transaksi Tunai dan Bank;

2) Sumber dan Penggunaan Dana;

3) Penghitungan Rasio;

4) Satuan dan/atau Volume;

5) Penghitungan Biaya Hidup;

6) Pertambahan Kekayaan Bersih (Net Worth).

Dalam melakukan pemeriksaan, DJP dapat menggunakan teknik pemeriksaan yang salah satu diantaranya adalah melalui pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal DJP.

Sehubungan dengan pemeriksaan pajak atas WP A, pemeriksa DJP menggunakan pendekatan penghitungan biaya hidup  untuk menentukan penghasilan neto WP karena tidak tersedianya dokumen untuk melakukan pemeriksaan dengan metode langsung. Dalam pelaksanaannya Pemeriksa Pajak harus mendapatkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung penghitungan biaya hidup tersebut, dimana bukti kompeten yang cukup tersebut dapat diperoleh melalui wawancara, konfirmasi, dll.

Biaya hidup berdasarkan pedoman pemeriksaan disebutkan sebagai seluruh pengeluaran WP tidak termasuk pengeluaran yang digunakan untuk menambah kekayaan.

Dalam putusan MA ini tidak disebutkan lebih lanjut detail penggunaan analisis biaya hidup sebagai dasar penentuan pajak terutang oleh DJP.

Penulis : Endang Dwi Ari

Editor : Andreas Adoe

Layanan Perpajakan
Close
error:
This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.