Laporan Akhir BEPS dan Perubahan Peraturan Transfer Pricing di Indonesia

Permasalahan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) terjadi karena diketahui masih terdapat kelemahan atas penerapan peraturan pajak internasional, yang termasuk didalamnya aturan transfer pricing, tax avoidance rule, hingga tax treaty sehingga perusahaan multinasional tetap dapat melakukan penghindaran pajak dengan :
– mentransfer keuntungan ke negara tertentu dengan tarif pajak rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak yang sering disebut tax haven, atau
– melakukan perencanaan pajak dengan menggunakan tax treaty sehingga yang terjadi bahkan tidak hanya tarif pajak efektif yang lebih rendah tapi juga double non-taxation sehingga atas penghasilan tertentu tidak dikenakan pajak dimanapun.

Penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional, yang menjadi masalah tidak hanya bagi negara maju tapi juga negara berkembang, menjadi sorotan dalam laporan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang laporan akhirnya dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Laporan akhir dari Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah dikeluarkan, tepatnya pada 5 Oktober 2015 dan telah merubah pedoman transfer pricing yakni OECD Transfer Pricing Guidelines dalam dua laporan yakni laporan berjudul :
1. Aligning Transfer Pricing Outcomes with Value Creation (Action 8-10: Final Reports), dan
2. Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country Reporting (Action 13: 2015 Final Reports) yang merubah pelaporan atas transfer pricing documentation.

Laporan BEPS tidak hanya atas masalah Transfer Pricing tapi tulisan ini khusus membahas perubahan peraturan Transfer Pricing.

Dapatkah perubahan OECD Transfer Pricing Guidelines tersebut digunakan di Indonesia dan apa pengaruh revisi OECD Transfer Pricing Guidelines tersebut bagi peraturan transfer pricing di Indonesia?

Dapatkah perubahan OECD Transfer Pricing Guidelines tersebut digunakan di Indonesia dan apa pengaruh revisi OECD Transfer Pricing Guidelines tersebut bagi peraturan transfer pricing di Indonesia?

Alasan Perubahan Transfer Pricing Guidelines
Penerapan aturan arm’s length principle yang disebut juga prinsip kewajaran dan kelaziman usaha selama ini mempunyai beberapa kelemahan yang dilihat dari permasalahan yang terjadi, dengan contoh diantaranya:

– Kesempatan penghindaran pajak dengan mengalokasikan fungsi, aset dan resiko ke perusahaan terafiliasi, yang memiliki hubungan istimewa, yang berada di negara dengan perlakuan pajak yang menguntungkan.
Hal ini didasarkan pada penerapan arm’s length principle bahwa semakin bahwa semakin besar fungsi, aset dan resiko maka semakin besar laba yang diperoleh. Sebagai contoh adalah anak perusahaan di negara dengan biaya produksi rendah seperti Indonesia menjadi perusahaan toll manufacturer atau perusahaan maklon namun perusahaan induk atau principal dari perusahaan jasa maklon tersebut berada di negara yang tarif pajaknya rendah atau menguntungkan.

– Transfer atas aktiva tak berwujud (intangibles) ke negara lain yang memiliki perlakuan pajak yang (lebih) menguntungkan.
Sebagai contoh adalah Dolce dan Gabbana yang memindahkan kepemilikan merek terkenal tersebut dari Italia ke perusahaan Luxembourg. Contoh lainnya adalah IKEA, perusahaan asal Swedia, dimana kepemilikan merek IKEA sekarang berada di satu perusahaan Belanda dan tidak lagi dimiliki perusahaan Swedia.

– Transfer Pricing Documentation hanya terbatas pada laporan rugi laba di satu negara dan tidak memberi gambaran atas keseluruhan international tax planning dari perusahaan multinasional seperti berapa laba yang dilaporkan di negara tax haven.

Proyek BEPS merupakan proyek bersama antara OECD dan G20 dimana Indonesia menjadi anggotanya sehingga dapat diterapkan di Indonesia.

Perubahan OECD Transfer Pricing Guidelines
Laporan akhir dari BEPS membuat beberapa perubahan dalam beberapa bagian dari OECD Transfer Pricing yakni :

A. Chapter I : Arm’s Length Principle
Revisi mencakup perubahan atas penerapan arm’s length principle yang merupakan bagian dari Chapter I dari OECD Transfer Pricing Guidelines, contohnya seperti identifikasi transaksi aktual , alokasi resiko, penjelasan atas keadaan di mana transaksi yang dilakukan namun dapat diabaikan untuk tujuan transfer pricing, location saving, penerapan arm’s length principle pada saat pemerintah menerbitkan kebijakan tertentu hingga sinergi perusahaan multinasional yang dapat dipertimbangkan saat melakukan perbandingan.

B. Chapter II : Transfer Pricing Method
Revisi mencakup penjelasan atas metode transfer pricing untuk transaksi komoditas yang dapat menggunakan metode CUP hingga penjelasan baru atas metode Profit Split. Berdasarkan revisi, penjualan komoditas dapat menggunakan menggunakan metode CUP untuk harga pasar (quoted price) pada tanggal transaksi komoditas di satu bursa dalam atau luar negeri.

C. Chapter V : Transfer Pricing Documentation
Akan ada pelaporan baru untuk transfer pricing documentation yang berisi Country-by-Country Reporting, dengan mengganti keseluruhan Chapter V tentang Transfer Pricing Documentation dari OECD Transfer Pricing Guidelines, dengan membuat pelaporan Transfer Pricing Documentation menjadi 3 bagian :
(i) Master File,
(ii) Local File, dan
(iii) Country-by-Country Reporting
yang akan memungkinkan penilaian risiko yang lebih baik tentang alokasi global dari perusahaan multinasional dalam hal laba, pajak dan kegiatan ekonomi.

D. Chapter VI : Intangibles
Untuk aktiva tidak berwujud (intangibles), revisi dibuat, diantaranya, untuk menjelaskan bahwa kepemilikan hukum saja tidak selalu menghasilkan hak atas seluruh imbal hasil yang dihasilkan atas eksploitasi aktiva tidak berwujud. Revisi juga menjelaskan definisi baru atas aktiva tidak berwujud untuk tujuan transfer pricing seperti
– Marketing Intangibles
– Patent
– Know-how and trade secrets
– Trademarks, trade names and brands
– Rights under contracts and government licences
– Licences and similar limited rights in intangibles
– Goodwill and ongoing concern value
– Group synergies
– Market specific characteristics

Revisi ini juga mencakup hard-to-value intangibles yang mencakup diantaranya penggunaan atau penilaian dari aktiva tidak berwujud untuk beberapa hal, contohnya seperti aktiva tidak berwujud yang masih dalam masa pengembangan saat ditransfer.

E. Chapter VII : Intra-group Services
Revisi atas intra-group services terutama dalam hal low value-adding intra-group services yang diantaranya berisi pendekatan yang disederhanakan serta perlindungan dari negara sumber untuk dasar pengenaan pajak atas jasa-jasa tertentu. Low value-adding intra-group services digolongkan sebagai jasa pendukung dan bukan bisnis inti wajib pajak, contohnya seperti akuntansi, audit atau manajemen sumber daya manusia dimana mark-up dalam jumlah tertentu masih digolongkan wajar.

F. Chapter VIII: Cost Contribution Arrangements (CCA)
Revisi aturan Cost Contribution Arrangement (CCA), yang memberikan panduan dan contoh penerapan arm’s length principle atas kontribusi dari pihak-pihak terkait dalam pengembangan bersama atas aktiva tidak berwujud, aktiva berwujud atau jasa.

Pengaruh Laporan BEPS atas Peraturan Transfer Pricing di Indonesia
Proyek BEPS merupakan proyek bersama antara OECD dan G20 dimana Indonesia menjadi anggotanya sehingga dapat diterapkan di Indonesia.

Penulis sendiri telah mendapat konfirmasi bahwa revisi peraturan transfer pricing sesuai laporan BEPS akan diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, contohnya dalam Transfer Pricing Documentation termasuk batasan kewajiban pelaporan Country-by-Country Reporting atas penghasilan, secara konsolidasi, sebesar EUR 750 juta dari perusahaan multinasional.

Referensi :
– OECD BEPS Final Report
– BEPS – Frequently Asked Questions, OECD, Actions 8-10 – Assure that transfer pricing outcomes related to intangibles are in line with value creation, Action 13 – Re-examine transfer pricing documentation.
– Tax Justice Network, the definition of transfer mispricing and reports about the benefits of Country-By-Country Reporting.
– The BEPS Project and Developing Countries: from Consultation to Participation, OECD.
– Per DJP No. PER-32/PJ/2011 tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Layanan Perpajakan
Close
error:
This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.