Perlakuan Pajak Penghasilan atas Kewajiban Penggunaan Rupiah di Indonesia

Pemerintah telah mewajibkan penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang namun bagaimana penerapan aturan ini akan berpengaruh pada peraturan pajak, baik pajak penghasilan (PPh) atau pajak pertambahan nilai (PPN) khususnya pada Wajib Pajak Badan?

Dalam satu perusahaan, terutama untuk bagian pembelian atau penjualan, manajemen pajak sebagai bagian dari tax planning, diperlukan dalam hal supply chain management sehingga proses procurement dan penjualan tidak menimbulkan masalah pajak atau agar masalah pajak dalam penerapan rupiah dapat diminimalkan.

Kewajiban Penggunaan Rupiah
Berdasarkan UU tentang Mata Uang tersebut, dijelaskan bahwa ada sanksi jika mata uang selain rupiah digunakan dalam transaksi di Indonesia secara tunai maupun non tunai, maka bagi yang melanggar dapat dipidana kurungan maksimal 1 tahun.
Kewajiban penggunaan rupiah, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mempunyai beberapa perkecualian diantaranya:
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
Karena kewajiban diatas, maka Wajib Pajak dapat dipastikan akan menggunakan Rupiah dalam pembukuan maupun transaksi di Indonesia sehingga hal ini dapat menimbulkan pertanyaan atas perlakuan pajak seperti :
– Pembukuan dalam mata uang asing,
– Perlakuan pajak atas selisih kurs,
– Pelaporan dalam mata uang asing yang akan dihadapi oleh bagian pembelian atau procurement dari perusahaan dagang (distribution company) atau perusahaan manufaktur (manufacturing company) atau oleh perencana bagian supply chain management.
– Perlakuan pajak untuk lindung nilai

Pembukuan dalam mata uang asing
Wajib Pajak Badan diperkenankan untuk menggunakan mata uang asing dalam pembukuan dan pelaporan pajak sesuai Pasal 3 UU KUP dan pembukuan dalam mata uang asing, terutama US Dollar harus memperoleh ijin terlebih dahulu berdasarkan pasal 28(8) UU KUP.
Untuk pelaporan pajak, saat ini ada Wajib Pajak tertentu yang diperbolehkan melaporkan pajak dengan menggunakan US Dollar seperti :
– Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
– Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya pertambangan
– Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi;
– Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2(5) UU PPh;
– Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
– Kontrak Investasi Kolektif (KIK);
– Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company), atau
– Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Sebagai catatan, dalam RUU KUP yang baru yang mulai beredar sejak 2015, UU Mata Uang Rupiah akan diterapkan dalam revisi UU KUP sehingga pembayaran dan pelaporan pajak hanya menggunakan mata uang Rupiah. Hal ini tidak hanya berpengaruh atas harga jual atau harga pembelian namun juga termasuk biaya gaji, beserta PPh Potput (withholding tax).

Sebagai catatan, dalam RUU KUP yang baru yang mulai beredar sejak 2015, UU Mata Uang Rupiah akan diterapkan dalam revisi UU KUP sehingga pembayaran dan pelaporan pajak hanya menggunakan mata uang Rupiah. Hal ini tidak hanya berpengaruh atas harga jual atau harga pembelian namun juga termasuk biaya gaji, beserta PPh Potput (withholding tax).

Untuk pembukuan dan akuntansi, tentunya harus mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing yang menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat melakukan aktivitas yang menyangkut valuta asing (foreign activities) dalam dua cara;
– melakukan transaksi dalam mata uang asing atau
– memiliki kegiatan usaha luar negeri (foreign operations). Untuk memasukkan transaksi dalam valuta asing pada laporan keuangan suatu perusahaan, transaksi harus dinyatakan dalam mata uang pelaporan perusahaan.

PSAK tersebut mengatur pembukuan atau akuntansi untuk transaksi dalam mata uang asing yang meliputi penentuan kurs yang digunakan dan pengakuan pengaruh keuangan dari perubahan kurs vaiuta asing dalam laporan keuangan.

Perlakuan Pajak atas Selisih Kurs
Selisih kurs, menurut pajak penghasilan, dapat menimbulkan permasalahan kerugian dan keuntungan karena selisih kurs.

Keuntungan selisih kurs merupakan objek pajak penghasilan sesuai Pasal 4(1) UU PPh begitu juga dengan kerugian karena selisih kurs dapat menjadi biaya pengurang pajak penghasilan sesuai Pasal 6(1) UU PPh.

Bagaimana cara menghitung keuntungan dan kerugian karena selisih kurs?
Perhitungan atas selisih kurs untuk kepentingan PPh tidak diatur dalam UU PPh dan dapat didasarkan atas PSAK tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing :
– Transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi.
– Pelaporan neraca, pos aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dilaporkan ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca.
– Pengakuan Selisih Kurs, selisih penjabaran pos aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing pada tanggal neraca dan laba rugi kurs yang timbul dari transaksi dalam mata uang asing dikreditkan atau dibebankan pada laporan laba rugi periode berjalan.
– Transaksi Valuta Berjangka, perlakuan khusus atas swap valuta asing dan hedging dengan melihat selisih kurs tunai dan kurs masa depan, atau
– Investasi Neto dalam suatu Entitas Asing, selisih kurs dapat timbul karena investasi neto perusahaan dalam suatu entitas asing harus diklasifikasikan sebagai ekuitas dalam laporan keuangan perusahaan hingga saat pelepasan (disposal) investasi neto.

Satu hal perlu dicatat adalah pembukuan untuk selisih kurs harus taat asas berdasarkan sistem pembukuan yang dianut agar tidak dianggap melanggar UU PPh. Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Hedging dan Pembukuan Dalam Rupiah
Untuk mengatasi masalah resiko nilai tukar karena kewajiban rupiah, Wajib Pajak dapat melakukan hedging atau lindung nilai. Untuk itu sekali lagi pembukuan menurut Standar Akuntansi Keuangan diperlukan untuk menentukan apakah perlakuan hedging telah dilakukan dengan benar, contohnya apakah keuntungan atau kerugian karena hedging dapat diakui dalam perhitungan pajak penghasilan.
Hedging, dapat didasarkan atas Peraturan Standar Akuntansi Keuangan tentang instrument derivative dan lindung nilai sehingga baik DJP maupun Wajib Pajak dapat menghitung berapa kerugian yang dapat menjadi pengurang dan keuntungan yang harus diperhitungkan untuk pajak penghasilan

Kesimpulan :
Kewajiban penggunaan mata uang rupiah di Indonesia berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 dapat membuat Wajib Pajak menggunakan transaksi dalam mata uang rupiah yang akan mempunyai pengaruh dalam perhitungan pajak penghasilan. Tax planning untuk penggunaan rupiah dalam hal procurement, pembelian, penjualan hingga supply chain management diperlukan untuk menghindari masalah pajak.

Layanan Perpajakan
Close
error:
This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.